Tak Apa-Apa
Ada banyak cara Tuhan mengabulkan doa hamba-Nya.
Barangkali salah satu jawaban dari doa itu adalah saat Dia menggagalkan rencana yang telah lama tersusun. Bahkan jauh sebelum waktu kepastinya ada. Dan yang dibayangkan akhirnya tinggalah bayangan. Ketika ia dengan gagahnya mengenakan toga.
21 September 2024, di Yogyakarta sidang terbuka itu berlangsung. Momen dalam hidupnya yang tak bisa aku hadiri untuk "kesekian kalinya". Rencana yang selalu aku bawa dalam doa-doa, nyatanya hanya angan saja. Berharap Tuhan meng-iyakan. Tapi Dia punya maksud baikNya untukku. Sedih, kecewa, dan marah. Begitulah ketika belum memahami nilai dibaliknya. Sampailah pada satu kesempatan aku memahami maksudnya.
Tidakkah akan memilukan bila hari itu aku datang menemuinya di Graha Jendral Sudirman. Sepi barangkali yang hadir diantara mereka yang gempa gempita. Mungkin keramaian itu hanya akan menyakiti aku yang sendiri di tepian pekik sorai sanak famili. Aku yang berdiri di bawah pohon sedang dia mengambil gambar diri bersama keluarga besarnya. Ahh... sungguh pemandangan yang mengiris hati. Begitu secuil bayangan yang tergambar dalam benak ini.
Mengapa bisa gambaran seperti itu yang hadir?. Sebab jauh dalam lubuk hatinya, belum lahir kesiapan untuk mengenalkan aku pada mereka yang lebih dahulu ia sayangi. Ya, aku masih tersembunyi atau mungkin memang disembunyikannya.
Apakah aku sedang mendapat lampu kuning?, oh tidak.. lebih tepatnya ini adalah lampu merah. Bukan jalan bebas hambatan yang sedang aku lewati. Melainkan jalan tak terdeteksi satelit yang sesekali hilang dari peredaran.
Inikah hubungan yang dahulu banyak disebutkan teman-teman, "backstreet". Mereka yang diam-diam menjalani sebuah jalinan asmara tapi menyembunyikannya dari orang-orang terdekat. Terutama adalah keluarganya.
Sungguh tak banyak ekspektasi lagi. Satu per satu mulai aku tanggalkan. Kubiarkan semua terjadi sebagaimana mestinya. Terserah bagaimana ia mewujudkan seapa-adanya.
Sangat sadar diri, di mana posisiku dalam daftar prioritasnya. Coba cari, dan kau akan temukan aku ditumpukan kesekian mungkin terbawah. Masih banyak mimpi yang ingin ia capai. Semua mengantre untuk terwujud satu per satu. Aku tak boleh banyak menuntut, apalagi marah. Sudah seharusnya aku menerimanya. Sebab aku juga yang telah memilih untuk memainkan sandiwara ini sedari awal.
Sekarang, izinkan aku berhenti sejenak. Membaca ulang naskah peranku. Mengisi dan merevisi isi yang tak pasti. Menyapa kesendirian selagi menyusuri sepi-sepi yang hadir. Melewati hari demi hari lalu menyusun sebuah strategi. Bagaimana dan harus kemana bila yang ia ucapkan tak bisa ditepati.
Komentar
Posting Komentar