Bibit, Bebet, Bobot
Sore ini cuaca Nampak mendung. Gerimis kecil mulai turun.
Meningkatkan melatonin dalam tubuh meski tak sebanyak ketika hujan deras yang
bertandang.
Dari luar
terdengar perbincangan beberapa orang. Walaupun tak jelas siapa yang sedang menjadi
topik pembicaraan. Sepertinya obrolan disana membawa beberapa percik emosi dari
nada yang terdengar. Serupa kilat kecil yang nyaris menyambar pucuk pohon.
“dek, pilih pasangan yang
bener-bener. Kenali bibit, bebet, bobotnya. Jangan Cuma pelajari personalnya.
Budaya keluarganya juga”
“ha? Kenapa?”
Rupanya potongan podcast yang
terdengar beberapa jam yang lalu bertemakan rumah tangga.
Panjang kali
lebar dan kali tinggi. Semua yang dibicarakan, diceritakan ulang oleh ia si sulung padaku. Entah dengan bumbu tambahan atau rasa original. Namun
aku mulai membaca kekhawatirannya disana.
Ia ceritakan bagaimana
perjalanannya dahulu sebelum memutuskan naik pelaminan. Tentang cara ia
mempelajari kebiasaan keluarga calonnya dan segala nilai hidup, yang coba
dikompromikan pada saat itu.
“Kamu nanti gak hanya akan
menikah sama orangnya, kamu juga kudu siap nikah sama keluarganya”, aku
terdiam.
“Mungkin kamu cocok dengan semua
kepribadiannya tapi apakah kamu benar-benar yakin menerima semua budaya
dikeluarganya?”
Pikiranku
melesat jauh pada kisah seorang teman. Dia yang begitu yakin dengan pasangan
beserta keluarganya, lalu mereka
memutuskan menikah. Namun kini masalah rumah tangganya justru datang dari
keluarga pasangannya sendiri. Begitu survive
dia kini. Dengan segala rupa duri-duri cobaan yang pernah ia ceritakan padaku. Semoga
lekas menemui titik penyelesaiannya.
Aku tak tahu.
Barangkali memang benar. Selalu ada cobaan dalam biduk rumah tangga. Dari sisi
manapun, Tuhan menguji dua insan manusia. Tuhan hendak melihat seberapa besar
mereka dapat membuktikan keimanan atas komitmen suci yang telah disepakati.
Cobaan tak akan absen datang. Namun manusia dapat mengantisipasinya bukan?
Sekecil
mengomunikasikan segala kemungkinan buruk. Menegosiasikan ego agar tak ada yang
merasa paling superpower.
Menyelaraskan nilai-nilai hidup yang diimani satu sama lain. Lalu menapaki
jalan panjang kehidupan bersama beriringan, tanpa saling mendahului ataupun
tertinggal.
Suka atau
tidak memang begitulah hidup di Indonesia. Memutuskan menikah dengan seseorang
berarti harus menikahi keluarganya juga. Bukan hanya bahasa cinta pasangan yang
harus dipelajari tapi budaya keluarganya juga perlu dipahami. Apakah kita
sanggup menerima atau bila tak bisa dikompromikan sama sekali mundur adalah
jalan terbaik.
Masih ada
waktu. Buka mata selebar-lebarnya. Baca baik-baik semua pesan dan tanda
semesta. Walau kita tak bisa 100% tahu dengan sebenar-benarnya. Setidaknya
gambaran intinya kita bisa memahami.
Karena menikah adalah hal yang sakral, memutuskan dengan siapa kita
menjalaninya juga tak boleh asal-asalan bukan?
Komentar
Posting Komentar