Bagaimana Bila Nanti............
“Siapapun nanti yang menjadi pasangan hidupku, semoga keluarganya juga
menerima dan menyayangiku sepenuh hati”
Dalam kehidupan, manusia berkembang seiring berjalannya waktu. Bersamaan dengan itu lingkungan juga berubah dan orang-orang disekitar mulai menua. Setiap masa memiliki ciri khasnya masing-masing. Seperti masa kanak-kanak yang penuh dengan waktu bermain. Masa remaja yang mulai mengenal ketertarikan lawan jenis. Masa dewasa yang penuh dengan tuntutan kehidupan dan nanti yang akan mulai berjalan pelan dimasa senja.
Beberapa
peristiwa menandai masa tumbuh manusia. Salah satunya adalah momen pernikahan.
Peristiwa membangun institusi baru dalam kehidupan. Melibatkan dua pribadi dari
latar belakang pengasuhan berbeda. Bahkan momen ini disimbolkan lahirnya
kehidupan baru bagi sebagian orang. Bersatunya dua insan untuk tak sekadar
tinggal seatap tapi juga hidup bersama.
Menjadi perempuan bujang 26th yang tinggal di kabupaten. Sudah barang tentu pertanyaan “kapan nikah” berkedok basa basi kenyang terdengar. Orang tua sepenuhnya membebaskan keputusan naik pelaminan itu pada anaknya. Namun ternyata tak penuh juga. Satu dua kali menatar dengan nada kelakarnya, yang membuat keyakinan diri bergetar. Lalu pada akhirnya bertanya juga pada diri sendiri, “kapan aku siap?” atau “apakah aku akan menikah?” kadang juga “menikah untuk apa?”. Dan rupanya jawaban itu muncul sendiri dari palung terdalam sanubari.
Baru aku tahu bersemayam ketakutan disana. Menyerupai monster dalam jiwa. Kadang muncul, kadang sembunyi. Oh... dia disana. Tak lain dan tak bukan. Trauma dan bayangan dari skenario buatanku.
Sebagai upaya
kecil, ketakutan itu coba kukenali. Walau belum sepenuhnya terlihat, setidaknya
tahu wujudnya. Berbicara, berdiskusi, dan bernegosiasi. Memahami apa yang berkecamuk. Lalu
berdamai dengannya agar tak lagi mengamuk.
Sudah menjadi rahasia umum di negara ini. Menikahi pasangan, itu artinya menikahi keluarganya juga. Menerima banyak peran dalam waktu singkat secara sekaligus. Tuntutan datang silih berganti tanpa bisa memilih. Menerima lingkungan yang asing dengan kata paksaan "anggap rumah sendiri".
Aku tak tahu ketakutan ini hanya bersarang padaku atau ada orang di luar sana yang juga merasakannya. Aku sungguh takut harus berperan sebagai anak dari orang tua lain selain orang tua ku sendiri. Harus menjadi familiar dengan kehidupan pasangan, yang sebenarnya tetap asing dimata kita. Aku takut sungguh takut. Merasakan pengalaman baru yang aku sendiri mungkin belum mau dan siap. Tapi di satu sisi aku belum menemukan formula epic untuk mengantisipasinya.
Bersama kesadaran penuh aku tahu. Membangun rumah tangga itu harus siap menerima dan merasakan semua pengalaman didalamnya. Bahagia sudah tentu satu paket dengan kedukaan. Konflik pasti tak bisa dielakkan. Tapi paling tidak, aku punya ilmu untuk menangani hal-hal itu, bukan?
Sungguh, jauh dalam hatiku mental itu masih maju mundur. Entah karena belum bertemu ia yang bisa meyakinkan, atau memang belum ada sesuatu yang menggoyahkan keyakinan itu sendiri.
Bagaimana bila nanti A-Z kemungkinan terburuk itu terjadi? ahhh... sungguh pikiran yang menggangu. Namun ada kalanya juga, bagaimana bila nanti banyak hal-hal baik A-Z yang datang? ya, itulah pengalihku selama ini. Dan dua pikiran ini yang terus menerus berperang.
Sejauh perjalanan hidup ini, hakikatnya sama. Lekas menemukan secercah cahaya dalam pekat keraguan. Atau menemukan petunjuk lewat apapun. Bisa menerjemahkan dan membaca pesan semesta itu. Agar segala kebingungan, tak lebih jauh menyesatkan atau bahkan membutakan mata dalam melihat rahmat-Nya.
Komentar
Posting Komentar