Musim Gugur Di Pajajaran

 

Menuju pergantian tahun suhu udara Bogor sedang dingin-dinginnya. Hujan yang biasanya hanya turun di sore hari kini sejak pagi sudah ramai-ramai turun menghipnotis setiap insan untuk kembali menarik selimutnya. Tak terkecuali aku. Hari itu aku hanya berencana untuk mencuci baju lalu melanjutkan membaca buku yang kubeli sedari Juni, hingga kudengar berita bahwa seorang teman akan pulang ke rumahnya di Cianjur.

“Boleh gak aku ikut ke Cianjur? pingin main ke rumah kamu”, begitu celetukku pagi itu. Gayung bersambut, hari itu aku turut serta ke rumah teman tersebut. Sepanjang perjalanan gerimis sesekali menyapa kami. Hari itu Bogor nampaknya sedikit mengurangi rutinitas hariannya, macet. Jalanan cukup lengang hanya di beberapa titik saja kemacetan terjadi.

Jalan Pajajaran Kota Bogor


Sesampainya di Jalan Pajajaran kotak imajinasiku terpantik. Daun-daun yang berjatuhan di sepanjang jalan itu mengingatkanku pada kondisi musim gugur yang pernah kubaca di novel ataupun tayangan yang kutonton. Musim tersebut biasa dijumpai di wilayah dengan iklim subtropis seperti Eropa, Amerika, dan beberapa wilayah di Asia. Namun kali ini aku dapat merasakannya di sepanjang jalan itu. Gerimis tipis yang diikuti hembusan angin membawa dedaunan kuning hingga oranye berguguran. Daun yang jatuh nampak seperti harapan yang gagal, ia berjatuhan satu demi satu ditiup angin. Dan kali ini lebih mirip seperti harapan yang berguguran di sudut hati kecil.

Entah telah berapa kali sudut hati itu patah, tumbuh lagi dan lagi lagi patah. Luka yang belum mengering kembali tergores mirip seperti siku atau lutut anak kecil yang baru belajar berjalan, tak pernah absen dengan bekas luka. Namun tak tahu mantra apa yang menghipnotisku, selalu ada maaf ketika esok harinya aku bertemu dengan raut wajah penuh keteguhan itu

Tak pernah aku menaruh marah juga benci padanya. Ketika aku bertemu dengannya hanya bahagia dan harapan yang selalu mengitari aku. Dirinya memang tak pernah menjanjikan apapun padaku, membicarakan soal perasaan saja tidak tapi selalu ada bahagia dan kenyamanan yang dia bagikan padaku. Diriku yang tumbuh bersama rasa sepi seperti menemukan sahabat baru, namun ada kesalahan yang aku lakukan disana, hatiku turut serta jatuh suka padanya. Bukan hanya di cerita novel saja seorang yang jatuh hati tiba-tiba menaruh sebuah harapan, di dunia nyata hal itu sama terjadi. Dan kini kesalahan itu aku lakukan. Kesalahan berharap kepada manusia.  

Jatuh hati sama sekali bukanlah sebuah kesalahan, namun apa reaksi seseorang setelah jatuh hati tersebut yang kerap menjadi sebuah masalah. Feedback baik yang biasanya diharapkan kadang menjadi sumber kecewa tersendiri. Seseorang boleh menaruh hati pada siapapun namun memaksa orang tersebut untuk membalas sama seperti yang kita lakukan padanya itulah yang tidak diperbolehkan. Entah bertepuk sebelah tangan atau disambut dengan baik, semua itu murni hak orang tersebut.

Beberapa kali semesta memberitahu padaku jawaban atas pertanyaanku padanya. Semoga aku benar mengartikan isyaratnya. Semi itu kembali gugur. Datangnya hanya singgah namun tak sungguh. Dia hanya bercanda harusnya aku tertawa bukan jatuh cinta. Dirinya hanya menjadi gerimis yang lewat sejenak bukan sumber mata air bagi sanubari kering ini. Mungkin sudah saatnya kutata lagi hati yang berkali-kali patah itu. Dia adalah orang yang baik, dan semua kesakitan ini adalah buah dari harapanku yang terabaikan, maka sakit ini adalah ulahku sendiri. Tak apa aku rasakan kembali musim gugur, kan kubiarkan dingin membekukan benteng pertahanan baru. Barangkali dengan begitu akan aku jumpai musim semi yang lebih lama. Bersama mekarnya bebungaan indah, hijaunya pepohonan, dan kicauan merdu burung-burung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan Panjang

Lingkaran Takdir

Amatir Asmara