Perempuan dan Impian

     Membahas tentang perempuan rasanya akan banyak sekali topik pembahasan dan rasanya tidak akan ada habisnya. Mulai dari cerita keseharian, keunikannya, bahkan perannya dalam kehidupan. Ketika seorang perempuan masih berstatus sebagai anak akan memiliki cerita yang berbeda ketika statusnya berubah menjadi istri ataupun ibu, dari situ saja akan muncul banyak cerita dengan beragam konfliknya. Mungkin tulisan kali ini tak akan cukup bila harus menceritakan ketiga status perempuan tersebut, maka aku akan menuliskan perempuan dari kacamata  mimpi, cita-cita, dan impiannya.

Gambar oleh  Jill Wellington dari Pixabay


    Sebagai manusia yang dikaruniai daya untuk berjuang dalam hidup, mimpi menjadi bagian tak terpisahkan dengan manusia. Baik laki-laki maupun perempuan, semua berhak memperjuangkan hidupnya atas nama mimpi, cita-cita, maupun impian. Dengan cita-citalah hidup terasa layak untuk diperjuangkan, pun tak ada batas jumlah mimpi untuk dimiliki. Namun dalam masyarakat terdapat batasan dalam mewujudkan cita-cita tersebut, dan batasan itu didasarkan pada gender. 

    Tak memungkiri sebagai bangsa timur kedudukan antara laki-laki dan perempuan seringkali mengalami diskriminasi. Paham patriarki yang mayoritas melekat pada bangsa Indonesia menjadikan adanya hierarki antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang masyarakat. Mulai dari lini keluarga, pekerjaan, pendidikan, hingga birokrasi, dapat dijumpai pengkotak-kotakan antara dua gender ini. Walau kini banyak penyetaraan hak-hak perempuan namun masih ada hal yang dianggap tabu yang berkaitan dengan perempuan, misalkan ketika seorang perempuan mengalami menstruasi di tempat umum lalu memerlukan pembalut, mereka akan menggunakan kode-kode kepada temannya untuk menyebut pembalut dengan istilah "roti jepang" atau istilah lainnya. Hal yang seharusnya menjadi wajar terkesan aneh bahkan tabu. Itu sedikit contoh kecilnya. Selain itu dalam hal berpakaian. Seorang anak perempuan selalu diwanti-wanti untuk mengenakan pakaian yang tertutup guna menghindari hal-hal buruk dari laki-laki yang mungkin saja terjadi akibat pakaian yang (dianggap) kurang sopan. Tapi sangat jarang atau bahkan tak ada orang tua yang mengingatkan anak laki-lakinya untuk menjaga pandangan dan sikapnya terhadap perempuan.

    Kembali pada perempuan dan impian. Seorang perempuan tak dapat dipisahkan dengan impiannya, namun beberapa dari mereka justru mematikan cita-cita mereka sendiri serta mengorbankan kebahagiaan mereka dengan dalih " inilah realita hidup ". Mindset yang selalu menjadi alasan mereka menghentikan perjuangan meraih mimpinya tersebut yaitu "seorang perempuan harus lebih rendah  dari lelaki, karena bila perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki maka laki-laki tersebut akan minder menjadi pasangan hidup kita". Atau mungkin "mencari nafkah itu kewajiban laki-laki jadi untuk apa perempuan bercita-cita tinggi nanti ujungnya juga di dapur". Dari kedua pernyataan diatas sangatlah sempit. Pandangan yang hanya dari satu sudut pandang tersebut kurang relevan bila kita mau mengupasnya lebih dalam lagi.

    Seorang wanita dengan kemampuan dan pengetahuan lebih tinggi dari laki-laki mampu menjadi seorang yang mandiri, dapat diandalkan, atau mungkin dapat memberikan kontribusi terbaiknya untuk lingkungan sekitar, dan itu bukanlah sebuah kesalahan. Tak ada kedudukan yang lebih tinggi ataupun rendah antara laki-laki dan perempuan, mereka dapat berada di panggung yang sama. Menjadi seorang perempuan dengan cita-cita pendidikan yang tinggi juga tak pernah ada ruginya. Walau pada akhirnya menjadi seorang ibu rumah tangga, ia akan menjadi seorang ibu yang tau bagaimana harus bersikap dan merawat keluarganya. Begitu pula menjadi seorang wanita yang bekerja. Entah memilih untuk menikah atau tidak mencukupi kebutuhan hidup dengan bekerja tak akan menjadi kesalahan. Menjadi seorang perempuan yang berdaulat adalah hak untuk semua perempuan yang dilahirkan ke dunia. Bila seorang laki-laki (merasa) tidak percaya diri lalu menyuruh seorang perempuan untuk menurunkan kemampuannya agar bisa bersanding bersama itulah salah yang sesungguhnya. Bukan kemampuan perempuan yang terlalu tinggi, namun laki-laki itulah yang tidak layak mendapatkan dan bersanding dengan perempuan hebat tersebut. 

    Memperjuangkan mimpi, mewujudkan cita-cita, dan meraih impian merupakan hak untuk seluruh orang baik itu laki-laki maupun perempuan. Menjadi seorang  pemimpin di bumi adalah fitrah manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Selagi ia dapat memberi manfaat bagi setiap manusia dan lingkungannya mengapa harus dibatasi dengan template lama, mindset kuno, atau bahkan ekspektasi tak logis?. Zaman terus berganti dan tak semua tata cara lama masih cocok digunakan. Tak apa-apa seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik seperti menyapu, mencuci baju, dan memasak. Karena hal tersebut wajar dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Antara bekerja dan membangun rumah tangga, jangan jadikan hal tersebut menjadi pilihan untuk perempuan bila dapat dikerjakan keduanya. Antara cita-cita dan cinta, keduanya bukanlah sebuah pilihan untuk perempuan. Cinta yang murni akan senantiasa membersamai cita-cita yang tulus. Karena keduanya tak akan mematikan satu sama lain. Begitu juga dengan impian yang tumbuh pada setiap diri perempuan. Antara paradigma lama dan cita-cita, tak seharusnya paradigma tersebut membunuh cita-cita mulia. Sebab semesta akan menerima cita cita mulia tersebut sekalipun melalui cara yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan akan selalu terjadi, sebab yang tak berubah hanya perubahan itu sendiri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan Panjang

Lingkaran Takdir

Amatir Asmara