Jakarta Hari Ini: Dalam Sepiring Pecel Lele 2

 Jakarta, 26 Januari 2023

    Gerimis kecil mulai merundung Dramaga di pagi buta. Aku telah bergegas bersiap menuju stasiun. Angkot melaju membelah jalanan Dramaga yang hari itu sedang malas untuk bermacet ria namun sialnya sampai di terminal, bus yang ditunggu tak kunjung tiba. Tanpa berpikir panjang kualihkan pilihanku pada ojek online, tak lama kemudian driver tiba " Pak, minta tolong agak ngebut ya, saya buru-buru mau ada wawancara di Jakarta", requestku bersama dengan kepanikan yang sahut-menyahut saat itu. Sepanjang koridor stasiun tak henti-hentinya kubersholawat, berharap krl tak meninggalkan kami walau akan ada krl selanjutnya, tapi dapat kupastikan aku akan telat bila harus menaiki krl berikutnya.

"Nai, ada dua krl yang mau berangkat jam 8.10 sama 8.15 tapi yang 8.10 kayaknya udah penuh deh", opsi yang coba ia berikan padaku.

" Oke kita naik yang kedua", kali ini aku mencoba menentukan pilihan. 

    Nafasku yang masih senin-kamis mencoba menguasai keadaan pagi itu. Dia memang pengambil keputusan terbaik. Selama aku berinteraksi dengannya hampir 95% keputusan dia yang menentukan dan dari setiap keputusan tersebut nyaris tak pernah mengecewakan. Dia bukanlah diktator dalam menentukan keputusan ia tetap mengikutsertakan pendapat lainnya, walau ujung-ujungnya bukan keputusan final yang didapatkan hanya opsi saja.

" Udah duduk sini aja ya", kalimatnya yang kujawab dengan anggukan.

" Syarat-syaratnya udah lengkapkan?", dia yang coba memastikan.

" Kalau berkasnya udah tapi beberapa bagian di formulirnya belum lengkap", jawabku.

"Oke kalau gitu aku bantu buat melengkapi ya", jawabnya. Dan perjalanan krl dari Bogor menuju Juanda kami isi dengan melengkapi jawaban pada form.

Jantungku tak henti-hentinya berdebar, pasalnya sesampainya di stasiun manggarai jam telah menunjukkan pukul 9 lebih dan pukul 10 aku harus sudah berada di lokasi wawancara kerja. 

"Tenang bentar lagi kita sampek", kata dia mencoba menenangkan khawatirku dibarengi senyum khasnya. Hari itu ada hal baru yang aku ketahui darinya. Selain pengambil keputusan terbaik rupanya ia juga punya kemampuan membaca raut wajah juga.

“Turun stasiun mana mbak?”, sapa seorang ibu yang duduk disampingku.

“Stasiun Juanda bu, kalau ibu mau turun dimana?”, jawabku.

“Oo sama kita, kalau masnya itu mau ke Juanda juga?”

“Iya bu, mau nganterin saya interview

“Saudara atau pacar?”, pertanyaan sang ibu yang membuatnya menoleh.

“Kami teman bu, teman kuliah”, jawabnya.

“Iya saya tahu, teman tapi mesra kan, anak saya juga seumuran kalian jadi saya tahu”, jawab ibu tersebut.

Dan suasana pun berubah menjadi canggung.

*

Interview telah selesai. Kami juga telah selesai makan siang. Jam masih menunjukkan pukul 13.30 WIB. Seperti rencana yang telah dibuat hari itu kami melanjutkan perjalanan menuju istiqlal dan monas. Aku mengira semua anak IPB pernah mengunjungi ikon wisata di Jakarta paling tidak sekali diantara banyak tempat wisata, ternyata masih ada yang sama sekali belum pernah kesana. Dan salah satu dari mereka adalah dia.

“Kita santai aja ya, kan gak buru-buru juga jadi jalan kaki aja yuk”

“Yakin? Gamau order ojol aja?”

“Gapapa, aku mau kenal Jakarta lebih dekat juga. Kalau kita jalan itu bisa lihat sesuatu yang gak bisa lihat kalau kita naik kendaraan”

“Hmm… oke deh, aku ikut aja”

Trotoar demi trotoar pun terlewati. Entah mengapa udara Jakarta hari itu begitu panas dan sumpek, seakan tak ada udara yang terhembuskan siang itu. Jalanan nampak hampir mirip showroom. Mobil-mobil borjuis berjajar dihajar macet. Sesekali kami temui realita kehidupan yang berbanding terbalik dari gambar kemacetan tersebut. Pedagang asongan, tukang tambal ban di pojok trotoar, pemulung di sungai, hingga anak jalanan. Begitulah wajah ibu kota sesungguhnya.

Entah berapa kilometer yang telah ditempuh dan kekuatan apa yang menyertai kami hari itu, namun yang pasti gedung-gedung penting negara hari itu kami lewati dengan berjalan kaki. Jalur yang kami lewati sedikit memutar dari jalur normalnya. Istiqlal yang bisa ditempuh selama 20 menit harus kami tempuh hampir 35 menit. Aliran sungai mulai mengalir di punggungku, mungkin begitu juga dengannya.



    Sesampainya di istiqlal langit menyambut kami dengan mendung abu-abu. Udara berhembus cukup kencang pertanda hujan akan segera turun. Kami menyempatkan berfoto sejenak di taman kurma. 
" Taman ini yang desain kakak tingkatku lho", celetuknya.
" o yaa", jawabku.
" Jadi dulu ada projek gitu dari dosennya, terus dia ikut "
" Pantesan ya kayak ada yang kurang gitu, mungkin karena bukan kamu ya lanskap arsitekturnya"
" haha, apaan sih "
Belum selesai kami berbincang rintik air turun membubarkan kami yang duduk di pinggir taman.
" Agak cepat langkahnya Nai"
"Ini juga udah cepet heh"
"Bawa payung kan, dipakai gih ini tuh hujan lho basah nanti"
"Gapapa bentar lagi sampek", begitu jawabku dengan ngeyel.


    Diselasar kami menikmati hujan yang mengguyur sore itu. Katedral nampak dari sebrang kami. Seakan ia tersenyum memandang setiap rintik air, dia bahagia sebab kini ia tak sendirian menikmati hujan.
" Kenapa ya kalau kita lagi keluar selalu hujan"
"Hujan itu rejeki lho, ada Rahmat-Nya yang lagi dibagikan ke bumi"
"Bener juga sih"
"Coba hujannya difoto, kayaknya bagus deh"
"Sini aku yang ambil gambarnya"
Puas mengabadikan hujan sore itu tak terasa jam telah menunjukkan waktu salat ashar. Kami berpisah untuk mengambil wudhu masing-masing.
"Nai, ketemu lagi disini ya"
"Iya, eh kukira ini ada kacanya lho ternyata enggak", jawabku sambil tertawa melihatnya dibalik pintu ornamen itu.

*

    Selesai salat ashar kami melanjutkan perjalanan menuju monas. Gerimis masih mengguyur tipis-tipis. Jalanan selepas hujan itu cukup ramai. Jarak istiqlal ke monas cukup dekat. tidak sampai 15 menit kami telah sampai. Sayang seribu sayang, ternyata monas tutup setelah pukul 4 sore sedangkan jam kami menunjukkan pukul setengah 5 sore. 
"Yaudah kita foto-foto diluar sini aja ya, next time kita kesini lagi awal waktu. Semoga diberi kesempatan buat main kesini lagi", ucapku coba menenangkan keadaan. Selesai berfoto kami mencari tempat duduk untuk sedikit melepas lelah langkah.
" Kemarin waktu interview ada pertanyaan yang susah Nai"
" Gimana pertanyaan nya?"
"Kalau nanti ada klien yang komplain sama tanaman yang sudah kamu beli tapi perusahaan juga gak mau rugi, apa yang akan kamu lakukan?"
"Terus kamu gimana jawabnya?"
"Ya aku jujur bilang kalau belum punya jawaban dan sampai sekarang aku juga belum nemu jawabannya"
"Learning by doing maybe, nanti lama-lama kamu juga bakalan nemu jawabannya"
"Nai, semoga keterima ya kerja di Jakarta. Jadi nanti mainnya gak jauh, hehe"
"Aamiin, doakan ya"
Udara sore itu terasa sejuk. Entah karena hujan yang melarutkan polusi atau karena kini aku diberikan kesempatan berbincang dan mengenalnya lebih jauh. Kepasrahanku atas rasa itu mengantarkan pada banyak hal diluar dugaanku. Banyak waktu yang dapat aku habiskan dengannya, berdua ataupun beramai. Bahkan hal-hal yang membuat hatiku patah tak pernah lagi membekas diingatan. Semua terasa netral kini. Tak ada bahagia yang berlebih pun sedih. Semua mengalir dan berproses, lalu tumbuh perlahan.

"Untuk memasak pangsit kau tak perlu merebusnya. Engkau hanya membutuhkan uap untuk membuat pangsit itu matang. Mengapa kau tak perlahan dan pelan untuk bisa tumbuh bersama?"
Mungkin kira-kira begitu.



*
    Main jauh-jauh ke Jakarta tapi makannya tak pernah berubah, pecel lele. Kali ini pecel lele tak ditemani segelas es teh manis tapi digantikan es jeruk dan es kelapa muda di food corner istiqlal. Dari sekian menu makanan yang dijajakan hanya pecel lele yang aku tebak rasanya tidak akan mengecewakan. Meskipun harga yang dipatok agak merogoh kantong kami, kali ini cukuplah kami maklumi.


"Nai, tadi aku pingin coba es kelapa muda yang rasa jeruk tapi tahu gak harganya? 25 ribu dong"
"Nah pas banget, nanti kita campur aja es degan kamu sama es jeruk aku"
"Ide bagus", jawabnya dengan tersenyum.
Waswiswus, fafifu, dan semua obrolan random tertuang senja itu. Semua cerita ngalor-ngidul kami sampaikan bergantian. Gelak tawa membumbui setiap jengkal perbincangan. Momen yang tak pernah terbayangkan namun terjadi. Entah kapan lagi hal seperti ini akan terulang namun yang pasti aku amat bersyukur kini. Adzan magrib tak terasa telah berkumandang. Kami bergegas menuju masjid.
"Nanti jangan lama-lama di dalam ya, selesai langsung kesini lagi", sepertinya kali ini dia mewanti-wanti aku.
"Iya gak lama tapi nanti anterin beli sandal dulu ya, sepatuku basah banget gak nyaman jadinya", dia menjawab dengan anggukan.
    Singkat cerita kami selesai berfoto di depan istiqlal sebelum berpamitan pada Jakarta hari itu dan bertolak menuju Bogor. Krl Jakarta kota-Bogor cukup lengang malam itu. Kami berusaha untuk tidak berjauhan tempat duduk agar dapat saling berbincang. Banyak hal yang kami ceritakan malam itu di krl. Kami hanyut dalam cerita satu sama lain hingga tak terasa krl telah tiba di stasiun Bogor. Banyak mimpi, cita-cita, dan harapan kami. Tak tahu kapan semua hal itu akan terwujud satu per satu.
    Hari itu kami habiskan dari terbit fajar hingga lelap malam. Hari yang panjang. Banyak momen yang tersimpan dalam ingatan. Kata yang terucap, setiap jejak langkah, guyonan kecil, hingga hal-hal yang terpancar dari sorot mata, semua terekam jelas dan baik. Waktu yang singkat memang dapat mengubah banyak hal. Dan itu aku rasakan. Semua momen hari itu memang tak dapat aku ulangi dengan persis. Namun aku berdoa akan ada momen baik lain yang dapat aku jalani bersamanya. Entah bagaimana plotwist itu akan terjadi semua aku kembalikan pada semesta. Ya lagi dan lagi semesta. Aku render pada-Nya. Akan aku jalani peranku dengan sebaik-baiknya, bagaimana Dia menuntunku dan membawaku kemana aku yakin itulah sebaik-baiknya rencana yang ada.


"Bimbinglah aku kemanapun, karena aku tahu kesanalah aku harus pergi dan disana aku harus berada"




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan Panjang

Lingkaran Takdir

Amatir Asmara