Semburat Rindu

 

Beberapa purnama telah terlewati tanpa “kita”, sebab kini yang ada adalah aku dan kau. Setelah keputusan perih kita ambil pada bulan keenam tahun lalu, rasanya masih menguar di tahun ini. walau aku tak lagi di kota itu begitupun denganmu namun memori tangis itu tak mau luruh bersama hujan di bulan juni.

Masih kuingat betul alur memori itu. Dari mulai kefatalan yang kau lakukan, garit-garit luka yang harus aku tanggung, ego yang merajai keputusan-keputusanmu, hingga jalinan kasih yang akhirnya kehilangan denyutnya. Mungkin kita dulu sama-sama tahu pun sama rasa bagaimana akhir mei menuju juni yang cukup kelam itu. Badai pilu yang tak mampu terbendung olehmu dan aku memecah bahtera kita. Hal yang aku pertanyakan, dalam keadaan seperti itu mengapa kau masih saja berpikir akan tetap sampai di tepian?, mengapa kau tak coba perbaiki dulu bahtera baru melanjutkan perjalanan ini?. Pertanyaan yang masih belum menemukan jawabnya, atau mungkin tanpa jawaban itu sudah menjadi jawabnya?

“rasa sayangku padamu memaksaku untuk melepasmu. Karena dari semua yang telah kita lalui sebuah perpisahan sepertinya akan lebih memberimu arti bijak dalam membina sebuah ikatan kasih berikutnya”

Malam itu sudah aku duga akan terjadi. Sebuah pilihan penuh realita coba kau tawarkan padaku. Dan dengan kurangku dalam mengambil keputusan atas pilihan-pilihan kau manfaatkan itu untuk memaksaku memilih. Bingung, sudah pastilah. Ragu atas pertimbangan terus membayangi. Namun aku harus memilih keputusan. Dengan segenap resiko dan semua akibat atas pilihan tersebut, aku pun memutuskan. Jalan yang telah lama dijalani bersama dilanjutkan tanpa “kita” tapi kini hanya aku dan kau. “Kita” pamit malam itu. Kau memilih berbincang dengan pagi sedang aku memilih tertidur bersama malam.

Tangis yang aku pendam jutaan tahun itu pun pecah. Atas segala kebaikan yang kau lahirkan untukku seakan memelukku erat tuk ucapkan pamit. Kepalaku terasa pening. Semua memori suka dan duka menghujam seketika. Aku yang masih menyimpan sisa peduli untukmu tak mau melepas pelukan itu begitu saja, namun semua pertimbangan dari logika dan perasaan tak bisa aku ingkari. Akan saling terluka bila kita terus bergandengan tangan. Aku yang akan terus menahan gores luka dan kau yang akan menutup mata atas perih yang kau cipta. Begitu mungkin.

Source: Dokumen Penulis


Semua berubah kini. Kau dan aku yang tak lagi menjadi kita. Dan banyak kebiasaan gila yang dipaksa berhenti. Namun percayalah yang berubah hanya itu. Kau tetap menjadi teman baikku. Kenangan bersama yang telah tercipta takkan pernah kulupa. Semoga begitu juga denganmu. Rasa yang pernah ada sepertinya mulai memudar namun jujur semburat rindu sesekali hadir di hari-hariku. Tidak, aku tak berniat mengganggu ketenangan hidupmu. Kerinduan ini hanya tak sengaja lahir dari memori baik yang pernah kita ciptakan berdua. Yakinlah itu hanya rindu, sekadar rindu yang mampir lalu pergi bersama memori-memori elegi.

"Bagaimanapun dirimu dan akhir dari cerita kita, terima kasih telah menjadi perantara Tuhan memberi pelajaran bijak-Nya untukku menjadi lebih dewasa memandang cinta"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amatir Asmara

JIWA KECIL YANG TERLUKA

Lingkaran Takdir